BAB 1
1.1 Latar Belakang
Surverlans
Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian Demam Thypoid di Indonesia pada
tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peninggkatan frekuensi
menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia
dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita
sekitar 35,8% yaitu dari 19,596 menjadi 26,606 kasus. (Aru W.Sudoyo, dkk, 2007;
1752).
Berdasarkan
data diatas menunjukkan bahwa angka kejadian
Thypus Abdominalis masih sangat tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai
factor antara lain : pengetahuan tentang kesehatan diri dan lingkungan yang
masih relative rendah, penyediaan air bersih yang tidak memadai keluarga dengan
hygiene sanitasi yang rendah, permasalahan pada identifikasi dan
penatalaksanaan karier, keterlambatan membuat diagnosis yang pasti, patogenesis
dan factor virulensi yang belum dimengerti sepenuhnya serta belum tersedianya
vaksin efektif aman dan murah menurut Pang dalam (Soegeng Soegijanto, 2002; 2).
Typhoid
atau dapat juga disebut sebagai Thypus Abdominalis atau demam enterik (enteric
fever) adalah suatu penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan (terutama
usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada
saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaraan.(Ngastiyah, 2005; 236). Thypus Abdominalis disebabkan oleh maksuknya
kuman Salmonella Typhi (S.typhi) dan Salmonella Paretyphi (S.paratyphi) kedalam
tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi oleh kuman (Aru W.Sudoyo,
dkk, 2007).
Untuk
itu, penanganan yang tepat sangat diperlukan untuk menurunkan angka morbiditas
Thypus Abdominalis. Penanganan dilingkungan dengan cara menumbuhkan kesadaran
masyarakat tentang pentingnya hidup sehat melalui upaya promotif dan freventif.
Selain itu, penanganan dirumah sakit melalaui upaya kuratif dan rehabilitative
juga sangat diperlukan yaitu dengan cara perawatan yang baik seperti tirah
baring, memberikan makanan yang lunak untuk mengurangi dan mencegah pendarahan
pada usus, serta pemberian obat-obatan antibiotik (Mansjoer Arif, 2002).
1.1
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah diuraikan,maka dalam penulisan ini dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1.
Apa definisi dari typus
abdominalis?
2.
Bagaimana etiologi, patofisiologi dan manifestasi klinis dari typus
abdominalis?
3.
Bagaimana pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan medis dan
komplikasi dari typus abdominalis?
4.
Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan typus abdominalis?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui cara memberikan dan membuat asuhan keperawatan pada pasien typus abdominalis dengan
baik dan benar.
1.3.2 Tujuan
Khusus
1. Mengetahui definisi dari typus
abdominalis.
2. Mengetahui anatomi fisiologi dari typus
abdominalis.
3. Mengetahui etiologi dari typus
abdominalis.
4. Mengetahui patofisiologi dari typus abdominalis.
5. Mengetahui manifestasi klinis dari typus abdominalis.
6. Mengetahui pemeriksaan penunjang typus abdominalis.
7. Mengetahui penatalaksanaan medis typus abdominalis.
8. Mengetahui komplikasi dari typus abdominalis.
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan typus abdominalis.
1.4
Manfaat
1.4.1. Manfaat teoritis
1. Bagi
penulis, makalah ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendalami pemahaman tentang konsep penyakit yang
disebabkan karena typus abdominalis.
2. Bagi
pembaca, khususnya mahasiswa keperawatan dapat mengerti tentang konsep penyakit
yang disebabkan karena typus abdominalis yang
sesuai dengan standart kesehatan demi meningkatkan tingkat kesejahteraan
masyarakat dan
dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian yang lebih lanjut.
1.4.2. Manfaat
praktis
Mahasiswa keperawatan dapat memberikan
asuhan keperawatan kepada pasien typus
abdominalis dengan baik.
BAB 2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Definisi
Thypus
Abdominalis (demam typhoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang
biasanya mengenai saluran pencernaan, dengan gejala demam yang lebih dari satu
minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2002). Thypus Abdominalis (demam typhoid,
enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
cerna, dan gangguan kesadaran (Mansjoer Arif, dkk, 2000). Thypus Abdominalis adalah penyakkit
infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam
lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran (Suriadi, Yuliani Rita,
2001).
Thypus Abdominalis
adalah suatu penyakit infeksi pada usus halus dengan gejala demam satu minggu
atau lebih disertai gangguan pada
saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Rampengan,1990). Tifus abdominalis adalah infeksi yang mengenai usus halus,
disebarkan dari kotoran ke mulut melaluiu makanan dan minuman dan air yang tercemar dan sering timbul dalam
wabah (Markum, 1991).
Demam
Typhoid (enteryk fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan
pada pencernaaan dan gangguan kesadaran (Nursalam, dkk, 2005). Demam tifoid adalah infeksi demam sistemik akut
yang nyata pada fogosit mononuclear dan membutuhkan tatanama yang terpisah.
(Horrison, 1999). Demam enterik adalah sindrom klinis sitemik yang
dihasilkan oleh organisme salmonella tertentu (Nelson, 1999).
Menurut
berbagai sumber diatas penulis dapat menyimplukan bahwa: Thypus Abdominalis merupakan
penyakit infeksi akut yang menyerang usus halus dengan menunjukkan gejala demam
yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran,
yang apabila tidak segera diobati secara proresif dapat menyerang jaringan
diseluruh tubuh (Jan Tambayong, 2000). Jadi
tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman salmonella typhi dan terdapat pada saluran
pencernaan yang disertai dengan demam
lebih dari satu minggu, dan gangguan kesadaran.
2.2 Anatomi Fisiologi
Susunan saluran pencernaan terdiri dari : Oris (mulut), faring (tekak), esofagus (kerongkongan), ventrikulus (lambung), intestinum minor (usus halus), intestinum mayor (usus besar ), rektum dan anus. Pada kasus demam tifoid, salmonella typi berkembang biak di usus halus (intestinum minor). Intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada seikum, panjangnya ± 6 cm, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorbsi hasil pencernaan yang terdiri dari: lapisan usus halus, lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (muskulus longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar).
Usus halus terdiri
dari duodenum (usus 12 jari), yeyenum dan ileum. Duodenum disebut juga usus dua belas jari,
panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri pada lengkungan ini
terdapat pankreas. Dari bagian kanan
duodenum ini terdapat selapu t lendir yang membukit yang disebut papila
vateri. Pada papila vateri ini bermuara
saluran empedu (duktus koledikus) dan saluran pankreas (duktus wirsung/duktus
pankreatikus). Dinding duodenum ini
mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar, kelenjar ini disebut
kelenjar brunner yang berfungsi untuk memproduksi getah intestinum.
Yeyenum dan ileum
mempunyai panjang sekitar ± 6 meter. Dua perlima bagian atas adalah yeyenum dengan
panjang ± 23 meter dari ileum dengan panjang 4 – 5 m. Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan
perantaraan lipatan peritonium yang berbentuk kipas dikenal sebagai
mesenterium.
Akar mesenterium
memungkinkan keluar dan masuknya cabang-cabang arteri dan vena mesenterika
superior, pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara 2 lapisan peritonium yang
membentuk mesenterium. Sambungan antara
yeyenum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas.
Ujung dibawah ileum
berhubungan dengan seikum dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium
ileoseikalis. Orifisium ini diperlukan
oleh spinter ileoseikalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula seikalis
atau valvula baukhim yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam asendens tidak
masuk kembali ke dalam ileum.
Mukosa usus halus.
Permukaan epitel yang sangata luas melalui lipatan mukosa dan mikrovili
memudahkan pencernaan dan absorbsi.
Lipatan ini dibentuk oleh mukosa dan sub mukosa yang dapat memperbesar
permukaan usus. Pada penampang melintang
vili dilapisi oleh epitel dan kripta yag menghasilkan bermacam-macam hormon
jaringan dan enzim yang memegang peranan aktif dalam pencernaan.
Didalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel,
termasuk banyak leukosit. Disana-sini
terdapat beberapa nodula jaringan limfe, yang
disebut kelenjar soliter. Di
dalam ilium terdapat kelompok-kelompok nodula itu. Mereka membentuk tumpukan
kelenjar peyer dan dapat berisis 20 sampai 30 kelenjar soliter yang panjangnya
satu sentimeter sampai beberapa sentimeter. Kelenjar-kelenjar
ini mempunyai fungsi melindungi dan merupakan tempat peradangan pada demam usus
(tifoid). Sel-sel Peyer’s adalah sel-sel dari jaringan limfe dalam
membran mukosa. Sel tersebut lebih umum
terdapat pada ileum daripada yeyenum. (
Evelyn C. Pearce, 2000)
Absorbsi makanan yang sudah dicernakan seluruhnya
berlangsung dalam usus halus melalui dua saluran, yaitu pembuluh kapiler dalam
darah dan saluran limfe di sebelah dalam permukaan vili usus. Sebuah vili berisis lakteal, pembuluh darah
epitelium dan jaringan otot yang diikat bersama jaringan limfoid seluruhnya
diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium.
Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan
dengan makanan cair dan lemak yang di absorbsi ke dalam lakteal kemudian
berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh kapiler darah di vili
dan oleh vena porta dibawa ke hati untuk mengalami beberapa perubahan. Fungsi
usus halus:
a. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk
diserap melalui kapiler-kapiler darah dan saluran – saluran limfe.
b. Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
c. Karbohidrat diserap dalam betuk monosakarida.
Didalam usus halus
terdapat kelenjar yang menghasilkan getah usus yang menyempurnakan makanan.
a. Enterokinase, mengaktifkan enzim proteolitik.
b. Eripsin menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino.
1. Laktase mengubah laktase menjadi monosakarida.
2. Maltosa mengubah maltosa menjadi monosakarida
3. Sukrosa mengubah sukrosa menjadi monosakarida
2.3 Etiologi
Faktor Etiologi dari demam typhoid
adalah disebabkan oleh makanan yang tercemar oleh salmonella typhoid dan
salmonella paratyphoid A, B dan C yang ditularkan melalui makanan, jari tangan,
lalat dan feses, serta muntah diperberat bila klien makan tidak teratur. Faktor
predisposisinya adalah minum air mentah, makan makanan yang tidak bersih dan
pedas, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, dari WC dan menyiapkan
makanan. ( www.emedicine.com)
Salmonella typhosa, merupakan basil gram negatif yang
bergerak dengan bulu getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya tiga
macam antigen yaitu antigen O (Ohne Hauch) yaitu somatic antigen (tidak
menyebar), terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida, antigen H
(Hauch/menyebar) terdapat pada flagella, antigen Vi merupakan polisakarida
kapsul verilen. Ketiga jenis antigen tersebut didalam
tuibuh manusia akan menimbulkan pembentukan tiga macam antibody yang lazim
disebut aglutinin (Ngastiyah,1997).
Selain
itu penyakit Tipus Abdomnalis juga bisa didukung oleh faktor-faktor antara lain
: pengetahuan tentang kesehatan diri dan lingkungan yang relative rendah,
penyediaan air bersih yang tidak memadai. Keluarga dengan hygiene sanitasi yang
rendah, pemasalahan pada identifikasi dan pelaksanaan karier, keterlambatan
membuat diagnosis yang pasti, patogenesis dan faktor virulensi yang belum
dimengerti sepenuhnya serta belum tersedianya vaksin yang efektif, aman dan murah Pang dalam
(Soegijanto Soegeng, 2002).
Demam typhoid
timbul akibat dari infeksi oleh bakteri golongan Salmonella yang memasuki tubuh
penderita melalui saluran pencernaan. Sumber utama yang terinfeksi adalah
manusia yang selalu mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang sakit atau sedang dalam masa penyembuhan. Pada masa penyembuhan, penderita pada masih mengandung Salmonella spp
didalam kandung empedu atau di dalam ginjal. Sebanyak 5% penderita demam tifoid
kelak akan menjadi karier sementara, sedang 2 % yang lain akan menjadi karier
yang menahun.Sebagian besar dari karier tersebut merupakan karier intestinal
(intestinal type) sedang yang lain termasuk urinary type. Kekambuhan yang yang
ringan pada karier demam tifoid,terutama pada karier jenis intestinal,sukar
diketahui karena gejala dan keluhannya tidak jelas (www.medscape.com).
2.4 Patofisiologi
Kuman Salmonella Typi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan
makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnakan oleh asam lambung.
Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri
di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi
perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman Salmonella Typi
kemudian menembud ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar
limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini
salmonella typi masuk ke aliran darah melalui duktus thoracicus.
Kuman salmonella
typi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella typi
bersarang di plaque peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain sistem
retikuloendotelial. Semula disangka
demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh endotoksemia.
Tapi kemudian berdasarkan penelitian ekperimental disimpulkan bahwa
endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia
pada demam tifoid. Endotoksin salmonella
typi berperan pada patogenesis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses
inflamasi lokal pada jaringan tempat salmonella typi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena
salmonella typi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat
pirogen oleh zat leukosit pada jaringan yang meradang.
Masa tunas demam
tifoid berlangsung 10-14 hari.
Gejala-gejala yang timbul amat bervariasi. Perbedaaan ini tidak saja antara berbagai
bagian dunia, tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu gambaran penyakit bervariasi dari
penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas
dengan komplikasi dan kematian hal ini menyebabkan bahwa seorang ahli yang
sudah sangat berpengalamanpun dapat mengalami kesulitan membuat diagnosis
klinis demam tifoid.
Dalam minggu
pertama penyakit keluhan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada
umumnya , yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan
tidak enak di perut, batuk dan epistaksis.
Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu badan meningkat . dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi
lebih jelas dengan demam, bradikardia relatif, lidah yang khas (kotor di
tengah, tepi daan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali,
meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis,
roseolae jarang ditemukan pada orang
Indonesia.
Penularan salmonella thypi dapat
ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food(makanan),
Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses
(tinja). Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman
salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui
perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh
orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan
dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella
thypii masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut.
Semula disangka demam dan gejala
toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan
penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan
penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis
typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam
disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan
pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang (www.medscape.com).
Manifestasi Klinik
Manifestasi
klinik demam typoid pada anak biasanya lebih ringan daripada orang dewasa. Masa
tunas: 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan,
sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari. Selama masa inkubasi
mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,
nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan kurang. Menyusul manifestasi klinik yang biasa ditemukan ialah :
1.
Demam
Pada kasus yang khas demam
berlangsung 3 minggu, bersifat febris remiten dan suhu tidak tinggi sekali.
Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam; pada minggu ketiga suhu
berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
2.
Gangguan pada saluran pencernan
Pada mulut terdapat nafas berbau
tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah. Lidah tertutup selaput putih kotor
(coated tongue), ujung dan tepinya kiemerahan, jarang disertai tremor. Pada
abdomen ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar
disertai nyeri perabaan. Biasanya
sering terjadi konstipasi tetapi juga dapat diare atau normal.
3.
Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran pasien menurun
walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi
sopor, koma atau gelisah (kecuali penyakitnya berat dan terlambat mendapatkan
pengobatan). Disamping gejala-gejala tersebut mungkin terdapat gejala lainnya.
Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola, yaitu bintik-bintik
kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit, yang dapat ditemukan pada
minggu pertama demam. Kadang-kadang ditemukan pula bradikardia dan epistaksis
pada anak besar (Ngastiyah, 1997).
2.6 Pemeriksaan Penunjang
a.
Pemeriksaan Rutin
Walaupun pada
pemeriksaan darah perifer lengkap sering di temukan leukopenia, dapat pula
terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi
walaupun tanpa disertai infeksi skunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia
ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat
terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah darah pada demam
tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali menigkat, tetapi akan kembali
menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan
penanganan khusus.
b.
Uji Widal
Uji widal di lakukan
untuk deteksi antibodi terhadap kuman S typhi. Pada uji widal terjadi suatu
reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Antigen yang digunakanpada uji widal adalah suspensi Salmonelle yang
sudah dimatikan dan di olah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu
;
1.
Aglutin in O (dari tubuh kuman)
2.
Aglutinin H (flagela kuman)
3.
Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin
tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid.
Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman. Pembentukan aglutinin mulai terjadi
pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai
puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase
akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada
orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap di jumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji
Widal bukan untuk menetukan kesembuhan penyakit.
Kadar aglutinin O dan H pada orang normal di daerah endemis yaitu 1/160, sehingga kadar aglutinin yang mempunyai diagnostik thypus abdominalis adalah 1/320,sedangakan di daerah nonendemis pemeriksaan titer anti bodi O tunggal > 1/40. pemeriksaan titer H tunggal mempunyai sensitifitas yang serupa tetapi spesivitasnya lebih rendah. Aglutinin H sering kali meningkat secara tidak khas karena imunisasi atau infeksi sebelumnya dengan bakteri lain.
Kadar aglutinin O dan H pada orang normal di daerah endemis yaitu 1/160, sehingga kadar aglutinin yang mempunyai diagnostik thypus abdominalis adalah 1/320,sedangakan di daerah nonendemis pemeriksaan titer anti bodi O tunggal > 1/40. pemeriksaan titer H tunggal mempunyai sensitifitas yang serupa tetapi spesivitasnya lebih rendah. Aglutinin H sering kali meningkat secara tidak khas karena imunisasi atau infeksi sebelumnya dengan bakteri lain.
c.
Kultur darah
1)
Hasil biakan darah yang positf memastikan demam tifoid, akan tertapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa
hal sebagai berikut:
2)
Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur
darah telah mendapatkan antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negatif.
3)
Volume darah yang kurang (kurang lebih 5cc darah). Bila darah yang di biak
terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang di ambil sebaiknya secara
bedside langsung dimasukkan kedalam media cair empedu.
4)
Riwayat vaksinal. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan anti bodi dalam
darah pasien. Anti bodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan
darah dapat negatif. (Aru W.Sudoyo dkk,2006).
2.7 Penatalaksaan Klinis
Pengobatan demam tifoid terdiri atas 3 bagian yaitu:
1.
Perawatan
Pasien demam tifoid perlu dirawat di
rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring
absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari.
Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadi komplikasi perdarahan usus
atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakuakan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien.
Pasien dengan kesadaran yang menurun,
posisi tubuhnya harus di ubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari
komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil
perlu diperhatikan, karena kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.
2.
Diet
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi
protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang
dan tidak menimbulkan gas. Susu 2 gelas sehari. Bila kesadaran menurun
diberikan makanan cair melalui sonde lambung . Jika kesadaran dan nafsu makan
baik dapat juga di berikan makanan lunak. Beberapa penelitian manunjukan bahwa
pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk- pauk rendah selulosa
(pantang sayuran dengan serat kasar) dapat di berikan dengan aman .
3.
Obat
Obat –obat anti mikroba yang sering dipergunakan ialah:
a.
Kloramfenikol
Belum ada obat anti mikroba yang
dapat menurunkan demam lebih cepat
dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 4x.500 mg sehari oral atau intravena sampai 7
hari bebas demam. Dengan
penggunan kloramfenikol, demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5
hari.
b.
Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol
pada demam tipid sama dengan kloramfenikol komplikasi pada hematologis pada
penggunan tiamfenikol lebih jarang dari pada kloramfenikol. Dengan tiamfemikol demam pada demam
tifoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.
c.
ko-trimoksazol (kombinasi dan
sulfamitoksasol)
Dosis itu orang dewasa, 2 kali 2
tablet sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg
trimitropin dan 400 mg sulfametoksazol). Dengan kontrimoksazol demam pada demam tifoid
turun rata-rata setelah 5-6 hari.
d.
Ampicillin dan Amoksisilin
Indikasi mutlak pengunaannya adalah
pasien demam tifoid dengan leokopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara
75-150 mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan ampicillin dan amoksisilin
demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 7-9 hari.
e.
Sefalosforin generasi ketiga
Beberapa uji klinis menunjukan
sefalosporin generasi ketiga amtara lain sefiperazon, seftriakson dan
cefotaksim efektif untuk demam typid, tatapi dan lama pemberian yang oktimal
belum diketahui dengan pasti.
f. Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif untuk untuk
demam typid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui
dengan pasti.
Obat-obat Simtomatik:
a.
Antipiretika
Antipiretika tidak perlu diberikan
secara rutin pada setiap pasien demam tifoid, karena tidak dapat berguna.
b.
Kortikosteroid
Pasien yang toksik dapat diberikan
kortikosteroid oral atau parenteral dalam dosis yang menurun secara bertahap
(Tapering off) selama 5 hari. Hasilnya
biasanya sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan cepat
turun sampai normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa
indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps (Ngastiyah,
1997).
2.8
Komplikasi
1.
Pada usus halus:
a.
Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika
dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi
melena, dapat disertai nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
b.
Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga
atau setelahnya dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak
disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirangga
peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan
diagfragma pada foto Rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c.
Peritonitis
Biasanya menyaertai perforasi tetapi
dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut, yaitu perut
yang hebat, dinding abdomen tegang (defense musculair) dan nyeri tekan.
2.
Diluar usus
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia),
yaitu meningitis, kolesistitis, ensefalopati dan laiun-lain. Terjadi karena
infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia. (Ngastiyah, 1997)
2.9 Prognosis
Prognosis thypus
abdominalis umumnya baik bila pasien cepat berobat prognosis kurang baik bila
terdapat gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia (demam tinggi) atau
febris kontinua. Penurunan kesadaran (sopor, koma, atau delirium), komplikasi
berat seperti dehidrasi, asidosis, perforasi, usus, dan gizi buruk. (Arif Mansjoer,
2000).
BAB 3
ASUHAN
KEPERAWATAN
3.1
Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan
adalah suatu sistem dalam merencanakan pelayanan asuhan keperawatan yang
mempunyai empat tahapan yaitu pengkajian, perencanaan, palaksanaan dan
evaluasi.
Proses keperawatan
ini merupakan suatu proses pemecahan
masalah yang sistimatik dalam memberikan pelayanan keperawatan serta dapat
menghasilkan rencana keperawatan yang menerangkan kebutuhan setiap klien
seperti yang tersebut diatas yaitu
melalui empat tahapan keperawatan. (Proses keperawatan : 9 & 12)
1. Pengkajian
a. Pengumpulan data
1) Identitas klien
Meliputi nama,, umur, jenis kelamin,
alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah
sakit, nomor register dan diagnosa medik.
2) Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah
panas atau demam yang tidak turun-turun, nyeri perut, pusing kepala, mual,
muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.
3) Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya
kuman salmonella typhi ke dalam tubuh.
4) Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam
tifoid.
5) Riwayat penyakit keluarga
Apakah keluarga pernah menderita
hipertensi, diabetes melitus.
6) Riwayat psikososial dan spiritual
Biasanya klien cemas, bagaimana koping
mekanisme yang digunakan. Gangguan dalam
beribadat karena klien tirah baring total dan lemah.
7) Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu
makan karena mual dan muntah saat
makan sehingga makan hanya sedikit
bahkan tidak makan sama sekali.
b) Pola eliminasi
Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena
tirah baring lama. Sedangkan eliminasi
urine tidak mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam tifoid terjadi
peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus,
sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.
c) Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena
harus tirah baring total, agar tidak terjadi komplikasi maka segala kebutuhan
klien dibantu.
d) Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu
sehubungan peningkatan suhu tubuh.
e) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap
keadaan penyakitnya dan ketakutan merupakan dampak psikologi klien.
f) Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan,
pendengaran dan penglihatan umumnya tidak mengalami kelainan serta tidak
terdapat suatu waham pad klien.
g) Pola hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu
sehubungan klien di rawat di rumah sakit dan klien harus bed rest total.
h) Pola reproduksi dan seksual
Gangguan pola ini terjadi pada klien yang sudah
menikah karena harus dirawat di rumah sakit sedangkan yang belum menikah tidak
mengalami gangguan.
i)
Pola
penanggulangan stress
Biasanya klien sering melamun dan
merasa sedih karena keadaan sakitnya.
j)
Pola
tatanilai dan kepercayaan
Dalam hal beribadah biasanya terganggu
karena bedrest total dan tidak boleh melakukan aktivitas karena penyakit yang
dideritanya saat ini.
8) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Didapatkan klien
tampak lemah, suhu
tubuh meningkat 38 – 410 C, muka kemerahan.
b. Tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran
(apatis).
c. Sistem respirasi
Pernafasan rata-rata ada peningkatan,
nafas cepat dan dalam dengan gambaran seperti bronchitis.
d. Sistem kardiovaskuler
Terjadi penurunan tekanan darah,
bradikardi relatif, hemoglobin rendah.
e. Sistem integumen
Kulit kering, turgor kullit menurun,
muka tampak pucat, rambut agak kusam.
f. Sistem gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut
kering, lidah kotor (khas), mual, muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri
perut, perut terasa tidak enak, peristaltik usus meningkat.
g. Sistem muskuloskeletal
Klien lemah, terasa lelah tapi tidak
didapatkan adanya kelainan.
h. Sistem abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati
membesar dengan konsistensi lunak serta nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung serta
pada auskultasi peristaltik usus meningkat.
9) Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan darah tepi
Didapatkan adanya anemi oleh karena
intake makanan yang terbatas, terjadi gangguan absorbsi, hambatan pembentukan
darah dalam sumsum dan penghancuran sel darah merah dalam peredaran darah. Leukopenia dengan jumlah lekosit antara 3000
– 4000 /mm3 ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh
penghancuran lekosit oleh endotoksin.
Aneosinofilia yaitu hilangnya eosinofil dari darah tepi. Trombositopenia terjadi pada stadium panas
yaitu pada minggu pertama. Limfositosis
umumnya jumlah limfosit meningkat akibat rangsangan endotoksin. Laju endap darah meningkat.
b. Pemeriksaan urine
Didaparkan proteinuria ringan ( < 2
gr/liter) juga didapatkan peningkatan lekosit dalam urine.
c. Pemeriksaan tinja
Didapatkan adanya lendir dan darah,
dicurigai akan bahaya perdarahan usus dan perforasi.
d. Pemeriksaan bakteriologis
Diagnosa pasti ditegakkan apabila ditemukan kuman salmonella dan biakan
darah tinja, urine, cairan empedu atau sumsum tulang.
e. Pemeriksaan serologis
Yaitu reaksi aglutinasi antara antigen
dan antibodi (aglutinin ). Adapun
antibodi yang dihasilkan tubuh akibat
infeksi kuman salmonella adalah antobodi O dan H. Apabila titer antibodi O adalah 1 : 20 atau
lebih pada minggu pertama atau terjadi peningkatan titer antibodi yang
progresif (lebih dari 4 kali). Pada
pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu kemudian menunjukkan diagnosa positif dari infeksi Salmonella typhi.
f. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui
apakah ada kelainan atau komplikasi akibat demam tifoid.
b. Analisa data
Data
yang sudah terkumpul dikelompokkan dan dianalisis untuk menentukan masalah
klien. Untuk mengelompokkan data ini
dilihat dari jenis data yang meliputi
data subyek dan dan data obyek.
Data subyek adalah data yang diambil dari ungkapan klien atau keluarga
klien sedangkan data obyek adalah data yang didapat dari suatu pengamatan atau
pendapat yang digunakan untuk menentukan diagnosis keperawatan. Data tersebut juga bisa diperoleh dari
keadaan klien yang tidak sesuai dengan standart kriteria yang sudah ada. Untuk perawat harus jeli dan memahami tentang
standart keperawatan sebagai bahan
perbandingan apakah keadaan kesehatan klien sesuai tidak dengan standart yang
sudah ada. (Lismidar, 1990).
c. Diagnosa keperawatan
Diagnosa
keperawatan merupakan suatu pernyataan yang jelas tentang masalah kesehatan
klien yang dapat diatasi dengan tindakan keperawatan. Diagnosa keperawatan ditetapkan berdasarkan
analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari pengkajian data. Demam menggambarkan tentang masalah kesehatan
yang nyata atau potensial dan pemecahannya membutuhkan tindakan keperawatan
sebagai masalah klien yang dapat ditanggulangi.
(Lismidar, 1990).
Dari
analisa data yang diperoleh maka diagnosa keperawatan yang muncul pada kasus
demam tifoid dengan masalah peningkatan suhu tubuh adalah sebagai berikut.
1) Peningkatan suhu tubuh/ Hipertermi b.d proses
infeksi kuman Salmonella typhi
2) Gangguan keseimbangan cairan (kurang dari
kebutuhan) b.d pengeluaran cairan yang berlebihan.
3) Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d peningkatan suhu
tubuh.
4) Kecemasan b.d
kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya.
5) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
mual/muntah dan anorekia.
6) Resiko terjadinya infeksi b.d tukak pada mukosa intestinal
2. Perencanaan
Pada tahap
perencanaan ini meliputi penentuan prioritas diagnosa keperawatan, menetapkan
tujuan dan kriteria hasil, merumuskan rencana tindakan dan mengemukakan
rasional dari rencana tindakan. Setelah
itu dilakukan pendokumentasian diagnosa aktual atau potensial, kriteria hasil
dan rencana tindakan. (Lismidar, 1990 : 34&44).
Rencana
keperawatan yang digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan klien pada
dasarnya sesuai dengan masalah yang
ditemukan pada klien dengan demam tifoid dan hal ini sesuai dengan
diagnosa keperawatan yang telah ada.
Perencanaan berisi suatu tujuan pelayanan keperawatan dan rencana
tindakan yang akan digunakan itu untuk mencapai tujuan, kriteria hasil dan
rasionalisai berdasarkan susunan diagnosa keperawatan diatas, maka perencanaan
yang dibuat sebagai berikut :
a. Diagnosa keperawatan I
Peningkatan suhu tubuh/
Hipertermi b.d proses infeksi
1) Tujuan : Suhu tubuh turun sampai batas normal
2) Kriteria hasil :
a) Suhu tubuh dalam batas normal 36 – 37 0
C
b) Klien bebas demam
3) Rencana tindakan
a) Bina hubungan baik dengan klien dan keluarga
b) Berikan kompres dingin dan ajarkan cara untuk
memakai es atau handuk pada tubu, khususnya pada aksila atau lipatan paha.
c) Peningkatan kalori dan beri banyak minuman
(cairan)
d) Anjurkan memakai
baju tipis yang menyerap keringat.
e) Observasi tanda-tanda vital terutama suhu dan
denyut nadi
f) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
obat-obatan terutama anti piretik.
4) Rasional
a) Dengan hubungan yang baik dapat meningkatkan
kerjasama dengan klien sehingga
pengobatan dan perawatan mudah dilaksanakan.
b) Pemberian kompres dingin merangsang penurunan suhu
tubuh.
c) Air merupakan pangatur suhu tubuh. Setiap ada kenaikan suhu melebihi normal,
kebutuhan metabolisme air juga meningkat dari kebutuhan setiap ada kenaikan
suhu tubuh.
d) Baju yang tipis akan mudah untuk menyerap keringat
yang keluar.
e) Observasi tanda-tanda vital merupakan deteksi dini untuk mengetahui komplikasi yang terjadi sehingga cepat
mengambil tindakan
f) Pemberian obat-obatan terutama antibiotik akan
membunuh kuman Salmonella typhi sehingga mempercepat proses penyembuhan sedangkan antipiretik untuk menurunkan suhu
tubuh.
b. Diagnosa keperawatan II
Gangguan keseimbangan cairan (kurang
dari kebutuhan) b.d pengeluaran cairan yang berlebihan.
1) Tujuan : Bebas dari kekurangan cairan
2) Kriteria hasil :
a) Mukosa mulut dan bibir tetap basah, turgor kulit
normal.
b) Tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah,
pernafasan) dalam batas normal.
3)
Rencana
tindakan :
a) Monitor intake atau output tiap 6 jam
b) Beri cairan (minum banyak 2 – 3 liter perhari) dan
elektrolit setiap hari.
c) Masukan cairan diregulasi pertama kali karena
adanya rasa haus.
d) Hindarkan sebagian besar gula alkohol, kafein.
e) Timbang berat badan secara efektif.
f) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian cairan
secara intravena.
4)
Rasional :
a) Pemenuhan cairan (input) dan koreksi terhadap
kekurangan cairan yang keluar serta deteksi dini terhadap keseimbangan cairan.
b) Cairan yang terpenuhi dapat membantu metabolisme
dalam keseimbangan suhu tubuh.
c) Haluaran cairan di regulasi oleh kemampuan ginjal
untuk memekatkan urine.
d) Gula, alkohol dan kafein mengandung diuretik meningkatkan
produksi urine dan menyebabkan dehidrasi.
e) Kehilangan berat badan 2-5 % menunjukkan dehidrasi
ringan, 5-9 % menunjukkan dehidrasi sedang.
f) Sebagai perawat melakukan fungsinya (independen)
sebaik-baiknya.
c.
Diagnosa
keperawatan III
Gangguan rasa nyaman, Nyeri b.d tukak
mukosa intestinal.
1) Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman, nyeri terpenuhi
2) Kriteria hasil :
a) Klien dapat/mampu mengekspresikan kemampuan untuk rasa
nyaman
b) Kebutuhan istirahat dan tidur tidak terganggu,
nyeri berkurang/ hilang.
3) Rencana tindakan :
a)
Dorong pasien untuk melaporkan
nyeri
b)
Kaji laporan kram abdomen atau
nyeri, catat lokasi, lamanya,intensitas (skala 0-10). Selidiki dan laporkan
perubahan karakteristik nyeri.
c)
Catat petunjuk non verbal,
gelisah, menolak untuk bergerak, berhati-hati engan abdomen, menarik diri, dan
depresi. Selidiki perbedaan petunjuk verbal dan non verbal.
d)
Kaji ulang faktor-faktor yang
meningkatkan atau menghilangkan nyeri.
e)
Izinkan
pasien untuk memulai posisi yang nyaman, mis, lutut fleksi.
f)
Berikan tindakan nyaman (mis,
pijatan punggung, ubah posisi) dan aktivitas senggang.
4) Rasional :
a)
Mencoba untuk mentoleransi
nyeri, dari pada meminta analgetik.
b)
Nyeri kolik hilang timbul pada
penyakit crohn. Nyeri sebelum defekasi sering terjadi pada KU dengan tiba-tiba,
dimana dapat berat dan terus-menerus.perubahan pada karakteristik nyeri dapat
menunjukan penyebaran penyakit/terjadinya komplikasi.
c)
Bahasa tubuh/ petunjuk non
verbal dapat secara psikologis dan
fisiologis dan dapat digunakan pada hubungan petunjuk verbal untuk mengidentifikasi
luas/beratnya masalah.
d)
Dapat menunjukan dengan tepat
pencetus dan factor pemberat seperti stress,, tidak toleran terhadap makanan
atau mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
e)
Menurunkan
tegangan abdomen dan meningkatkan rasa control.
f)
Meningkatkan
relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan meningkatkan kemampuan koping.
g)
Bersihkan
area rectal dengan sabun ringan dan air/lap setelah defekasi dan memberikan
perawatan kulit, misalnya salep, jel/jeli minyak.
d.
Diagnosa
keperawatan IV
Cemas sehubungan dengan kurangnya
pengetahuan klien tentang penyakitnya.
1) Tujuan : Cemas berkurang atau hilang
2) Kriteria hasil :
a) Klien mengerti tentang penyakitnya, kecemasan
hilang atau berkurang.
b) Klien menerima akan keadaan penyakit yang
dideritanya.
3)
Rencana
tindakan
a) Beri penjelasan pada klien tentang penyakitnya.
b) Kaji tingkat kecemasan klien.
c) Dampingi klien terutama saat-saat cemas.
d) Tempatkan pada ruangan yang tenang, kurangi kontak
dengan orang lain, klien lain dan keluarga yang menimbulkan cemas.
4)
Rasional :
a) Klien mengerti dan merespon dari penjelasan secara
kooperatif.
b) Dapat memberi gambaran yang jelas apa yang menjadi
alternatif tindakan yang direncanakan.
c) Klien merasa diperhatikan dan dapat menurunkan
tingkat kecemasan.
d) Dengan ruangan yang tenang dapat mengurangi kecemasannya
e. Diagnosa keperawatan V
Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual/muntah dan anoreksia.
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan nutrisi terpenuhi.
b) Kriteria hasil:
a) Nutrisi pasien terpenuhi, pasien tidak mengalami
mual/ muntah.
b) Nafsu makan klien meningkat, BB pasien naik
c) Rencana tindakan:
a) Timbang berat badan setiap hari.
b) Dorong tirah baring dan atau pembatasan aktivitas selama fase sakit
akut.
c) Anjurkan istirahat sebelum makan.
d) Berikan kebersihan oral.
e) Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan,
dengan situasi tidak terburu-buru, temani.
f) Batasi makanan yang dapat menyebabkan kram
abdomen, flatus.
g) Catat masukan dan perubahan simtomatologi.
h) Dorong pasien untuk menyatakan perasaan
masalah mulai makan diet.
i)
Pertahankan puasa sesuai
indikasi.
j)
Kolaborasi
nutrisi pareneral total, terapi IV sesuai indikasi.
d)
Rasional
a)
Memberikan informasi tentang kebutuhan diet/keefektifan
terapi.
b)
Menurunkan kebutuhan metabolic untuk
mencegah penurunan kalori dan simpanan energi.
c)
Menenangkan peristaltic, dan meningkatkan
rasa makanan.
d)
Mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa makanan.
e)
Lingkungan yang menyenangkan menurunkan
stress dan lebih kondusif untuk makan.
f)
Mencegah serangan akut/eksaserbasi
gejala.
g)
Memberikan rasa control pada pasien dan kesempatan untuk
memilih makanan yang diinginkan/ dinikmati, dapat meningkatkan masukan.
h)
Keragu-raguan untuk makan mungkin
diakibatkan oleh takut makanan akan menyebabkan eksaserbasi gejala.
i)
Istirahat usus menurunkan peristaltic dan diare dimana
menyebabkan malabsorsi/kehilangan nutrient.
j)
Program inii mengistirahatkan
saluran GI sementara memberikan nutisi penuh.
f. Diagnosa keperawatan VI
Potensial terjadinya infeksi
sehubungan dengan pemasangan infus.
1) Tujuan : Tidak terjadi infeksi pada daerah
pemasangan infus.
2) Kriteria hasil :
a) Tidak terdapat tanda-tanda infeksi
b) Infeksi tidak terjadi.
3) Rencana tindakan
a) Beri penjelasan pada klien dan keluarga tentang
tanda-tanda infeksi.
b) Mengganti atau merawat daerah pemasangan infus.
c) Lakukan pemasangan infus secara steril dan jangan
lupa mencuci tangan sebelum dan sesudah
pemasangan.
d) Cabut infus bila terdapat pembengkakan atau
plebitis.
e) Observasi tanda-tanda vital dan tand-tanda infeksi
di daerah pemasangan infus.
4) Rasional :
a) Klien dapat mengetahui tanda-tanda infeksi dn
melaporkan segera bila terasa sakit di daerah pemasangan infus.
b) Mencegah terjadinya infeksi karena pemasangan
infus yang lama.
c) Dengan cara steril adalah tindakan preventif
terhadap kemungkinan terjadinya infeksi.
d) Mencegah atau menghindari kondisi yang lebih buruk
lagi akibat infeksi.
e) Dengan observasi yang dilakukan akan dapat
mengetahui secara dini gejala atau tanda-tanda infeksi dan keadaan umum klien.
3. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah
inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana
tindakan disusun dan ditujukan kepada perawat untuk membantu klien mencapai
tujuan yang diharapkan. Adapun tujuan
dari pelaksanaan adalah membantu klien untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan meliputi peningkatan kesehatan atau pencegahan penyakit, pemulihan
kesehatan dari fasilitas yang dimiliki.
Perencanaan tindakan keperawatan akan dapat
dilaksanakan dengan baik jika klien
mempunyai keinginan untuk berpartisiasi dalam pelaksanaan tindakan
keperawatan. Selama perawatan atau
pelaksanaan perawat terus melakukan pengumpulan data dan memilih tindakan
perawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan klien. dan meprioritaskannya. Semua tindakan keperawatan dicatat ke dalam
format yang telah ditetapkan institusi.
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan
langkah terakhir proses keperewatan untuk melengkapi proses keperawatan,
rencana tindakan dan pelaksanaan telah berhasil dicapai, melalui evaluasi
memungkinkan perawatan untuk memonitor kealpaan yang terjadi selama tahap
pengkajian, analisa perencanaan dan pelaksanaan tindakan. Meskipun tahap
evaluasi diletakkan pada akhir proses
keperawatan , tetapi evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap
proses keperawatan. Diagnosa juga perlu
dievaluasi untuk menentukan apakah realistik dapat dicapai dan efektif.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Thypus
Abdominalis merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang usus halus dengan
menunjukkan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan
dan gangguan kesadaran, yang apabila tidak segera diobati secara proresif dapat
menyerang jaringan diseluruh tubuh (Jan Tambayong, 2000). Jadi tifus abdominalis adalah penyakit infeksi
akut yang disebabkan oleh kuman
salmonella typhi dan terdapat pada saluran pencernaan yang disertai dengan demam lebih dari satu minggu,
dan gangguan kesadaran.
Dampak masalah
dari tifus abdominalis antara lain:
a. Pada pasien
1) Pola persepsi dan metabolisme
Nafsu makan klien meurun yang disertai
dengan mual dan muntah.
2) Pola eliminasi
Klien
tyfoid biasanya mengalami konstipasi bahkan diare.
3) Pola aktivitas dan latihan
Klien demam tyfoid haruslah tirah
baring total untuk mencegah terjadinya komplikasi yang berakibat aktivitas
klien terganggu. Semua keperluan klien dibantu dengan tujuan mengurangi
kegiatan atau aktivitas klien. Tirah
baring totalnya yang dapat menyebabkan terjadinya dekubitus dan kontraktur
sendi.
4) Pola tidur dan istirahat
Terganngu karena klien biasanya
gelisah akibat peningkatan suhu tubuh.
Selain itu juga klien belum terbiasa dirawat di rumah sakit.
5) Pola penanggulangan stress
Pada pola ini terjadi gangguan dalam
menyelesaikan permasalahan dari dalam diri klien sehubungan penyakit yang
dideritanya.
b. Pada keluarga
1) Adanya beban mental sebagai akiabt dari salah satu
anggota keluarganya dirawat di rumah sakit karena sakit yang di deritanya
sehingga menimbulkan kecemasan.
2) Biaya merupakan masalah yang dapat menimbulkan beban keluarga. Bila perawatan yang diperlukan memerlukan
perawatan yang konservatif yang lama di rumah sakit, akan memerlukan biaya yang
cukup banyak, sehingga dapat menimbulkan beban keluarga.
3) Akibat klien di rawat di rumah sakit maka akan
menambah kesibukan keluarga yang harus menunggu anggota keluarga yang sakit.
4.2 Saran
4.2.1
Bagi Tenaga Kesehatan
Untuk
tenaga kesehatan terutama perawat diharapkan bisa mengerti dan memahami tentang
pengertian, penyebab,
pencegahan dan
pegobatan
dari typus abdominalis agar
saat menerapkan pada pasien tidak terjadi suatu kesalahan yang menyebabkan
pasien tambah parah atau bahkan bisa mengalami kematian karena kesalahan dalam
melakukan asuhan keperawatan.
4.2.2 Bagi Pasien dan Keluarga
Bagi
pasien diharapkan mengerti tentang penyebab,
pengobatan dan pencegahan dari typus abdominalis, agar pada saat terjadi
typus abdominalis dapat melakukan pencegah dini sebelum dilakukan asuhan
keperawatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Hassan, Rusepno, dkk. 2007. Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Rampengan. 2005. Penyakit
Infeksi Tropik pada Anak, Edisi 2. Jakarta: EGC.
Soegijanto, Soegeng. 2007. Kumpulan
Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia, Jilid 6. Surabaya: Airlangga University Press.
Tjokroprawiro, Askandar, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga
University Press.